Cerpen

Si Norak, Si Aneh, Si Kutu Buku

Cinta... kita tidak berubah menjadi cinta, tetapi kita yang sekarang ini adalah cinta.

Berdiri tegap, bahu tegak, dagu terangkat, pandangan mata kedepan, tersenyum, demikian aku bergumam. Tidak, ini tidak ungkin kulakukan. Kupasang lagi kacamataku dan kembali merunduk seperti kebiasaanku. Aku segera menyesali keputusanku itu saat diam-diam menyelinap kembali ke bangkuku. Matanya sama sekali tak berkedip saat aku melangkah masuk. Berdehem untuk menarik perhatianya rasanya akan sia-sia saja.

Kuambil catatan yang dengan rapi diberi judul "Sejarah". Aku mencuri pandang saat dia duduk disebelahku. Ia tampak persis seprti dalam mimpiku semalam: tanpa cacat. Segala sesuatu tentang dirinya sunggguh pas dan senyumannya, seberkas rambutnya yang selalu jatuh menutupi matanya, dan, oh, matanya itu. Rupanya ia merasa aku sedang menatapnya karena tiba-tiba saja ia menoleh dan memandangku. Cepat-cepat aku menunduk melihat kecatatanku dan pura-pura sibuk mencari sesuatu. Aku tak berani melirik untuk melihat apakah ia masih memandangku. Bhakan, aku menoleh ke jendela. Cahaya matahari membuat mataku menyipit.

Ironisnya, aku melewatkan musim panasku disekolah. Aku bukanya tidak lulus dalam mata pelajaran ini, sebagaimana halnya murid lain yang ada disini. Aku memiliki hasrat yang luar biasa untuk belajar dan merah sebanyak-banyaknya selama masa sekolahku di SMU. Singkatnya, aku adalah orang yang aneh. Si penyendiri. Si kutu buku.

Dari sudut mata kulihat ia hendak menepuk bahuku. Semua otot tubuhku mengejang. Sentuhanya begitu ringan, jemarinya hampir tak terasa olehku. Aku menghadap dirinya, sementara mataku terpaku terpaku ke lantai. Aku tak kuasa memandangnya. Pada saat itu aku merasa diriku tak berharga.

"Pekerjaan rumah tadi malam sudah kau buat?"
Tentu saja sudah kubuat! Bahkan PR untuk nanti malam pun sudah selesai aku kerjakan. Apa kau tidak tahu siapa aku ? Akulah satu-satunya murid paling pintar disekolah ini. Setiap malam sepanjang pekan kuhabiskan waktu berjam-jam didepan layar komputer. Kekuatan dibelakangku mendorongku lebih kuat lagi. Kelak aku akan begitu terjerumus dalam dunia kaum terbuang sehingga aku akan bermabuk-mabukan bersama laptopku. Belum, aku belum masuk kedunia itu. Untuk sementara ini aku cukup senang bahwa masih ada hal yang belum kuketahui, hal yang sekarang ini ada dipikiranmu.

Aku berdehem. " Ya, aku sudah membuat PR itu."
"Hmm, aku agak kesulitan dengan soal nomor 13. Kau tahu jawabanya ?" Dengan satu gerakan yang mulus, ia menyelipkan pensil ke belakang telinganya.
"Aku," jawabku.
"Apa? Jawabanya kau ?" ia bertanya kebingungan.
"Oh, bukan." Pipiku terasa merah padam. Sialan! Kalau aku memang pintar, mengapa bersikap setolol ini? Aku sudah melatih apa yang akan kukatakan kepadanya seribu kali, berulang-ulang.
Aku mengangankan bahwa pembicaraan itu akan berakhir dengan ajakan untuk bertemu. Ia akan menertawakan kelucuanku dan akan berpendapat tak ada seorangpun yang lebih menarik dibandingkan dengan diriku.

Aku menarik napas panjang. "Hendro Kusumo."
"Trims," lalu mengambil pensil dari belakang telinganya. Kulihat ia menuliskan jawaban itu dengan asal-asalan, lalu menoleh kegadis berambut pirang dibelakangnya. Ia berusaha mengambil hati si gadis dengan leluconnya. Si gadis sama sekali tidak tersenyum. Sebaliknya, aku bisa tertawa terpingkal-pingkal apabila ia mengatakan lelucon itu kepadaku. Tetapi aku lalu ingat bahwa lelucon itu bukan untukku. Kuperhatikan gerakan tubuh si gadis saat ia mencondongkan tubuh ke depan ke arahnya, sambil mempermainkan helaian rambut dengan jarinya. Kalau ia maju sedikit lagi hidung mereka pasti akan bersentuhan. Dengan tenang aku menyenggol pensilku sampai jatuh dari meja.

Perhatianya terganggu, dan ia melihat ke lantai. Ia membungkuk dan memungut pensil itu, yang telah habis ku gigit-gigit kalau aku sedang gugup. Ia bangkit berdiri; hidungnya lebih dekat ke hidungku dibandingkan dengan jarak hidung si gadis tadi ke hidungnya. Tanganku menyentuh tanganya saat aku mengambil pensil itu. Tanganku merinding dan jantungku berdebar kencang. Belum pernah ia menunjukan minat seperti sekarang ini.

Waktu sesaat itu seakan tak pernah ada, dan tanpa sepatah katapun yang terucap, ia berbalik dan sibuk kembali dengan si ratu kecantikannya. Dengan kecewa, aku membungkukkan badan kedepan dan berpangku tangan, memperhatikan dengan terpesona kala si gadis mengeluarkan lipbalm nya. Dengan gaya berlebihan, ia membasahi bibirnya dan merapatkannya. Mata pria idamanku tak lepas darinya. Rasanya aku ingin berteriak dan mengguncang tubuhnya, menyadarkanya. Gadis ini benar-benar tidak ada apa-apanya. Dibalik penampilanya yang bagaikan seorang ratu, kepalanya kosong melompong.

Suatu saat nanti kita akan saling menyelamatkan, diam-diam aku berjanji. Kita sebenarnya serupa. Kita sama-sama ingin bebas dari dunia fantasi ini. Ini saja sudah merupakan dasar untuk membangun hubungan yang lebih akrab lagi.

Malam ini aku bisa belanja ke Indomart, membeli cat rambut dan lipbalm. Atau berkeliling pusat pertokoan mencari blus seksi yang dikenakan si gadis tadi. Aku bisa memanfaatkan musim panas untuk membuat kulitku lebih gelap. Tapi, mungkin aku malah mengerjakan PR.

Tidak, malam ini aku akan berlatih: berlatih untuk berdiri tegap, bahu tegak, dagu terangkat, dan tersenyum. Dan mungkin besok ia akan menanyakan jawaban soal nomor 12.... dan namaku..

Oleh : Kimberly Russell









Hii..sista and brother !!! Kenalin, namaku Febrina Dharmayanti. Bisa dipanggil febrina aja. Di blog ini aku bakal tuangin semua hasil karyaku.. Jangan bosan mampir diblog ku ya sist and bro !!! :)